Bulu kucing anggora dan persia
Meski sama-sama berbulu panjang, jika dilihat dari dekat, kucing persia memiliki bulu yang lebih lebat dibandingkan dengan kucing anggora.
Bulu kucing persia tumbuh lebat secara merata dari wajah hingga ekornya. Sementara itu, bulu pada bagian wajah kucing anggora terlihat lebih tipis jika dibandingkan dengan ekornya.
Dengan bulu yang lebih tebal, Anda harus lebih sering menyisir rambut kucing persia supaya tidak kusut dan rontok sehingga membentuk hairball.
Beda perawatan kucing anggora dan persia
Dengan bulunya yang lebih tebal, kucing persia membutuhkan perawatan yang lebih intensif.
Anda dianjurkan untuk menyisir bulu kucing persia setiap hari dan memandikannya setidaknya satu bulan sekali.
Sementara itu, perawatan bulu kucing anggora memang cenderung lebih mudah. Anda bisa menyisir bulunya setiap tiga kali sehari saja.
Namun, karena kucing anggora jauh lebih aktif, pastikan untuk menyediakan tempat bermain yang lebih luas. Selain itu, Anda juga perlu lebih rajin mengisi tempat minumnya.
Karena lebih banyak menghabiskan waktunya untuk beristirahat, kucing persia dinilai lebih rentan mengalami obesitas.
Jika dibiarkan, obesitas bisa menyebabkan berbagai penyakit pada kucing, seperti diabetes hingga penyakit jantung. Oleh karena itu, Anda harus rutin mengajak kucing bermain.
Sementara itu, penyakit pada kucing anggora dikhawatirkan berasal dari makanan yang dikonsumsinya.
Pasalnya, dengan jiwa berburunya yang tinggi, kucing dengan kecerdasan yang tinggi ini mungkin mengonsumsi makanan yang tidak seharusnya.
Meski memiliki berbagai macam perbedaan, baik kucing anggora maupun persia tetap membutuhkan perawatan dan kasih sayang yang memadai.
Selain dari sisi pemenuhan makanan, usahakan untuk memberikan vaksin pada kucing Anda dan membawanya ke dokter hewan secara rutin.
[embed-health-tool-bmi]
Namun bangsa Romawi akhirnya dikalahkan oleh bangsa Persia.
Hal itu sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an surat Ar Rum ayat 2.
Artinya: Bangsa Romawi telah dikalahkan,
Strategi dan siasat militer
Ketika Kekaisaran Romawi dan Parthia bentrok untuk pertama kali, tampak bahwa Parthia memiliki potensi untuk mendorong garis depannya sampai ke Aigea dan Mediterania. Namun, di bawah Pacorus dan Labienus, Romawi menghalau invasi besar terhadap Suriah dan secara perlahan-lahan mampu mengambil keuntungan dari lemahnya sistem militer Parthia, yang, menurut George Rawlinson, sesuai untuk pertahanan nasional namun kurang cocok untuk penaklukan. Romawi, di lain pihak, terus-menerus memodifikasi dan memperbaharui "siasat utama" mereka sejak masa Trajanus, dan pada akhirnya Pacorus dapat melancarkan serangan terhadap Parthia.[167][168] Seperti halnya Sassaniyah pada akhir abad ke-3 dan ke-4 M, Parthia secara umum menghindari pertahanan berkelanjutan atas Mesopotamia dalam menghadapi Roamwi. Akan tetapi, dataran tinggi Iran tidak pernah berhasil ditaklukkan oleh Romawi. Ini disebabkan ekspedisi Romawi selalu sudah mengalami kelelahan ketika mencapai Mesopotamia hilir, dan jalur komunikasi mereka yang sangat panjang melalui wilayah yang tidak cukup bersahabat menjadikan pasukan Romawi rawan terhadap adanya pemberontakan dan serangan balik.[169]
Sejak abad ke-4 M, Sassaniyah Persia tumbuh kuat dan mengambil alih peran sebagai agresor. Mereka merasa bahwa banyak daerah yang diperoleh Romawi pada masa Parthia dan masa awal Sassaniyah sebenarnya merupakan wilayah milik Persia.[170] Everett Wheeler berpendapat bahwa "Sassaniyah, secara administratif lebih terpusat daripada Parthia, secara formal mengatur pertahanan wilayah mereka, meskipun mereka kekurangan pasukan tempur sampai masa Khosrau I".[169] Secara umum, Romawi mengakui bahwa Sassaniyah merupakan ancaman yang lebih serius daripada Parthia, sementara Sassaniyah menganggap Kekaisaran Romawi sebagai musuh terkuat.[171][172]
Secara militer, seperti halnya Parthia, Sassaniyah amat sangat tergantung pada pemanah berkuda ringan dan katafrakt, kavaleri berbaju zirah berat yang disediakan oleh aristokrasi. Mereka menambahkan kontingen gajah perang yang didapat dari Lembah Sungai Indus, tetapi kualitas infantri mereka kalah bagus jika dibandingkan dengan prajurit Romawi.[173] Kavaleri berat Persia menimbulkan beberapa kekalahan terhadap prajurit pejalan kaki Romawi, termasuk terhadap pasukan pimpinan Crassus pada 53 SM,[174] Markus Antonius pada 36 SM, dan Valerianus pada 260 M. Kebutuhan untuk mengatasi ancaman ini berujung pada diperkenalkannya cataphractarii ke dalam pasukan Romawi;[175][176] akibatnya, kavaleri berbaju zirah berat menjadi semakin penting baik bagi pasukan Romawi maupun Persia setelah abad ke-3 M, dan sampai akhir perang.[170] Romawi telah meraih dan mempertahankan kecanggihan tingkat tinggi dalam hal peperangan kepung, dan telah mengembangkan berbagai macam mesin kepung. Di lain pihak, Parthia kurang ahli dalam mengepung; pasukan kavaleri mereka lebih cocok untuk siasat serang dan kabur yang mampu menghancurkan kereta kepung Antonius pada 36 SM. Situasi ini berubah dengan bangkitnya Sassaniyah. Dengan berdirinya Sassaniyah, Romawi kini berhadapan dengan musuh yang memiliki kemampuan yang setara dalam hal kepung-mengepung. Sassaniyah mampu memanfaatkan artileri, mesin-mesin yang dirampas dari Romawi, tanggul, dan menara kepung.[177][178]
Menjelang akhir abad ke-1 M, Romawi mengatur ulang perlindungan perbatasan timurnya dengan suatu garis perbentengan, yaitu sistem limes, yang bertahan sampai datangnya penaklukan Muslim pada abad ke-7 M setelah perbaikan oleh Diocletianus.[179][180] Seperti halnya Romawi, Sassaniyah juga membangun dinding pertahanan yang menghadap ke wilayah musuh mereka. Menurut R. N. Frye, pada masa pemerintahan Shapur II, sistem Persia dikembangkan, kemungkinan meniru Diocletianus yang membangun limes di perbatasan Suriah dan Mesopotamia di Kekaisaran Romawi. Unit perbatasan Romawi dikenal sebagai limitanei, dan mereka berhadapan dengan Lakhmid di Irak, yang sering membantu Persia menyerang Romawi. Shapur menginginkan adanya kekuatan pertahanan permanen melawan suku-suku Arab lainnya di gurun, khususnya suku-suku yang bersekutu dengan Romawi. Shapur juga membangun garis perbentengan di barat yang meniru sistem limes Romawi, yang membuat orang-orang Sassaniyah terkesan.[181][182]
Pada masa awal kekuasaan Sassaniyah, sejumah negara oenyangga ada antara kedua kekaisaran. Seiring waktu, negara-negara penyangga itu dikuasai oleh kedua kekaisaran, dan pada abad ke-7 M negara penyangga terakhir, Lakhmid Arab Al-Hirah, dikuasai oleh Kekaisaran Sassaniyah. Frye mengamati bahwa pada abad ke-3 M negara klien semacam itu memainkan peranan penting dalam hubungan Romawi–Sassaniyah, tetapi kedua kekaisaran secara berangsur-angsur mengganti negara macam itu dengan sistem pertahanan yang terorganisir yang diatur oleh pemerintah pusat, dan didasarkan pada limes serta kota-kota berbenteng di perbatasan, misalnya Dara.[181] Studi dan penelitian terkni yang membandingkan Sassaniyah dan Parthia menunjukkan bahwa Sassaniyah memang lebih unggul dalam teknik pengepungan serta organisasi dan rekayasa militer,[182][183] selain juga kemampuan untuk membangun pertahanan.[184]
Perang Romawi–Persia disebut sebagai konflik yang "sia-sia" dan terlalu "menekan dan melelahkan untuk dipikirkan".[185] Secara profetis, Kassios Dio mengamati "siklus konfrontasi bersenjata tanpa akhir" ini dan berpendapat bahwa "telah diperlihatkan sendiri oleh fakta-fakta bahwa penaklukan [Severus] merupakan sumber perang dan pengeluaran yang besar dan konstan bagi kita. Karena konflik ini hanya menghasilkan sedikit dan menyedot sejumlah banyak; dan kini kita telah mencapai bangsa-bangsa yang merupakan tetangga orang Medes dan Parthia bukannya tetangga kita sendiri, kita selalu, jika boleh dibilang, melakukan pertempuran yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang itu."[186][187] Dalam rangkaian panjang perang antara dua kekuatan besar itu, garis depan di Mesopotamia hulu cenderung tidak berubah. Para sejarawan mengamati bahwa kestabilan garis depan selama berabad-abad itu luar biasa, meskipun Nisibis, Singara, Dara dan kota-kota lainnya di Mesopotamia hulu berpindah tangan seiring waktu, dan kepemilikian kota-kota perbatasan ini membuat kekaisaran yang memilikinya memperoleh keuntungan dalam hal perdagangan atas musuhnya. Seperti yang Frye sebutkan:[181]
Orang akan merasa bahwa darah yang ditumpahkan dalam peperangan antara dua negara itu hanya memberikan sedikit hasil bagi satu pihak ataupun pihak lainnya seperti beberapa meter tanah yang diperoleh dengan pengorbanan yang mahal dalam peperangan parit pada Perang Dunia Pertama.
Kedua belah pihak berupaya untuk membenarkan tujuan militer mereka dengan cara yang aktif dan reaktif. Cita-cita Romawi untuk menguasai dunia ditambah dengan dengan rasa kebanggaan dalam peradaban barat, serta diperkuat dengana danya ambisi untuk menjadi penjaga perdamaian dan keteraturan. Sumber-sumber dari Romawi memperlihatkan prasangka lama berkaitan dengan adat, struktur agama, bahasa, dan bentuk pemerintahan negara-negara di Timur. John F. Haldon menggarisbawahi bahwa "meskipun konflik antara Persia dan Romawi Timur berkutat di sekitar isu mengenai kendali strategis di sekitar perbatasan timur, tetapi selalu ada unsur ideologi dan agama yang muncul". Sejak masa Konstantinus, kaisar Romawi mengangkat diri mereka sendiri sebagai pelindung orang-orang Kristen di Persia.[189] Sikap ini menciptakan kecurigaan yang besar terhadap kesetiaan orang Kristen yang tinggal di Iran Sassaniyah, dan sering kali berujung pada ketegangan Romawi–Persia atau bahkan konfrontasi militer.[190][191] Satu ciri dari fase final konflik ini, ketika apa yang telah dimulai pada 611–612 M sebagai perang penyergapan dengan segera berubah menjadi perang penaklukan, adalah penggunaan Salib sebagai simbol kejayaan imperial, dan juga unsur keagamaan yang kuat dalam propaganda imperial Romaw; Heraclius menegcam Khosrau sebagai musuh Tuhan, dan para penulis pada abad ke-6 dan ke-7 M sangat memusuhi Persia.[192][193] Trradisi pemikiran bersejarah "pro-Romawi" ini bertahan selama berabad-abad, dan baru pada zaman sekarang para sejarawan mengadopsi pendekatan yang lebih luas, dan berusaha untuk memperjelas posisi Persia yang kurang diketahui.[194]
Sumber untuk sejarah Parthia dan perang melawan Romawi hanya ada sedikit dan tidak lengkap. Bangsa Parthia mengikuti tradisi Akhemenyah dan lebih menyukai historiografi lisan. Akibatnya, ketika bangsa Persia ditaklukkan, sejarah mereka banyak yang hilang. Dengan demikian sumber utama untuk periode ini berasal dari sejarawan Romawi (Tacitus, Marius Maximus, dan Justiusn) dan Yunani (Herodianosos, Kassios Dio dan Plutarkhos). Buku ketiga belas Orakel Sibyl menceritakan pengaruh Perang Romawi–Persia di Suriah sejak masa pemerintahan Gordianus III sampai dominasi provinsi oleh Odaenathus dari Palmyra. Dengan berakhirnya catatan Herodianosos, semua naratif kronologis kontemporer mengenai sejarah Romawi pun hilang, sampai munculnya naratif karya Lactantius dan Eusebius pada awal abad ke-4 M, keduanya dari sudut pandang Kristen.[195][196]
Sumber utama untuk periode Sassaniyah awal tidaklah sezaman. Di antaranya yang paling penting adalah orang Agathias dan Malalas dari Yunani, Tabari dan Ferdowsi dari Persia, Agathangelos dari Armenia, dan Kronik Suryani tentang Edessa dan Arbela, sebagian besar dari mereka bersumber pada sumber-sumber Sasaniyah akhir, khususnya Khwaday-Namag. Sejarah Augustus tidak sezaman dan tidak tepercaya, tetapi itu merupakan sumber naratif utama bagi Severus dan Carus. Inskripsi tiga bahasa (Yunani, Parthia, dan Persia Pertangahan) Shapur merupakan sumber primer.[197][198] Akan tetapi semua itu merupakan upaya terisolasi dalam mendekati historiografi tulisan dan tidak menjelaskan banyak hal mengenai sejarah Persia, bhkan ada akhir abad ke-4 M, praktik mengukir relief batu dan menuliskan inskripsi pendek telah ditinggalkan oleh orang Sassaniyah.[198]
Untuk periode antara 353 dan 378 M, ada sumber saksi mata mengenai peristiwa utama di perbatasan timur dalam Res Gestae karya Ammianus Marcellinus. Untuk peristiwa-peristiwa selama periode antara abad ke-4 dan ke-6 M, karya-karya Sozomenus, Zosimus, Priscus, dan Zonaras adalah sangat bernilai.[199] Sumber tunggal paling penting untuk perang Persia Justinianus sampai tahun 533 M adalah Procopius. Penerusnya Agathias dan Menander Protector juga memberikan banyak rincian penting. Theophylact Simocatta adalah sumber utama untuk masa pemerintahan Mauricius,[200] sedangkan Theophanes, Chronicon Paschale dan puisi-puisi karya George dari Pisidia adalah sumber yang berguna untuk masa akhir perang Romawi–Persia. Selain sumber Bizantium, dua sejarawan Armenia, Sebeos dan Movses, ikut berkontibusi dalam menceritakan naratif perang Heraclius dan oleh Howard-Johnston disebut sebagai "sumber non-Muslim terpenting yang masih tersisa".[201]
Jakarta, tvOnenews.com - Romawi adalah salah satu bangsa yang amatlah berkuasa di masanya.
Saat Rasulullah SAW berdakwah dalam menyebarkan agama Islam, kekaisaran Romawi juga masih berkuasa.
Bulu dan perawatan
Persia terkenal dengan bulunya yang panjang dan lebat. Kucing jenis ini memiliki dua lapisan bulu, yakni bagian atas dan bawah. Mantel Persia datang dalam banyak warna, pola, dan terbagi menjadi dua tekstur. Persia merah atau hitam biasanya memiliki tekstur halus, sedangkan warna biru dan krem memiliki bulu lembut seperti kapas, sehingga membutuhkan perhatian ekstra.
Sebaliknya, Anggora memiliki bulu lebih pendek atau gak sepanjang Persia. Namun, tetap halus dan cenderung jarang menggumpal. Menyisirnya satu dua kali seminggu mungkin cukup, tak seperti Persia yang harus setiap hari. Meski begitu, kedua kucing ras ini sama-sama akan kehilangan sebagian bulunya selama musim panas.
Jika membaca deskripsi di atas, perbedaan kucing Anggora dan Persia, ternyata cukup mencolok, ya? Kalau sudah tahu, bisakah kamu membedakan keduanya secara langsung?
Baca Juga: Kucing Lemas Tidak Mau Makan, Ini Penyebab dan Perawatannya
Karena kucing anggora dan persia sama-sama berbulu lebat, tidak heran bila Anda kesulitan untuk menemukan perbedaan di antara keduanya. Terlebih lagi bila Anda tidak terlalu familiar dengan jenis-jenis kucing.
Nah, sebenarnya apa saja yang menjadi pembeda di antara dua ras kucing kesayangan banyak orang ini? Simak jawabannya dalam uraian berikut!
Justinianus vs. Khosrau I
Persia melanggar "Kesepakatan Perdamaian Abadi" pada 540 M, kemungkinan sebagai tanggapan akibat penaklukan ulang Romawi di banyak bekas wilayah Kekaisaran Romawi Barat, yang ikut dibantu dengan berhentinya perang di Timur. Khosrau I menginvasi dan meluluhlantakkan Suriah, merampas sejumlah besar uang dari kota-kota di Suriah dan Mesopotamia, dan secara sistematis menjarah kota-kota lainnya termasuk Antiokhia, yang penduduknya dikirim ke wilayah Persia.[89][90] Belisarius, dipanggil dari kampanye di Barat untuk menghadapi ancaman Persia, melancarkan kampanye terhadap Nisibis pada 541 M yang berakhir inkonklusif. Khosrau melancarkan serangan lainnya di Mesopotamia pada 542 M ketika dia berupaya menaklukkan Sergiopolis.[91][92] Dia mundur dengan cepat ketika menghadapi pasukan Romawi di bawah Belisarius, menjarah dan merusak kota Callinicum dalam perjalannya.[93][94] Serangan terhadap sejumlah kota Romawi berhasil dipukul mundur, dan pasukan Persia dikalahkan di Dara.[95][96] Pada 543 M, Romawi melancarkan serangan ke Dvin namun dikalahkan oleh sejumlah kecil pasukan Persia di Anglon. Khosrau mengepung Edessa pada 544 M namun gagal dan akhirnya disuap oleh pasukan bertahan.[97] Setelah penarikan mundur pasukan Persia, utusan dari Romawi datang ke Ktesiphon untuk melakukan perundingan.[98][99][100] Perjanjian damai selama lima disepakati pada 545 M, dan dijamin dengan pembayaran Romawi kepada Persia.[98][101]
Pada awal 548 M, raja Gubazes dari Lazika mendapati bahwa negerinya ditindas oleh Persia. Dia pun meminta kaisar Justinianus untuk mengembalikan protektorat Romawi di sana. Justinianus mengambil kesempatan itu, dan pada 548–549 M pasukan gabungan Romawi dan Lazika berhasil meraih serangkaian kemenangan atas pasukan Persia, meskipun mereka gagal merebut garnisun kunci di Petra. Kota tersebut pada akhirnya diduduki pada 551 M, tetapi pada tahun yang sama, serangan Persia di bawah Mihr-Mihroe berhasil menduduki Lazika timur.[102] Gencatan senjata yang telah disepakati sebelumnya pada 545 SM kembali diperbaharui di dekat Lazika untuk lima tahun berikutnya dengan ketentuan bahwa Romawi harus memabayr 2,000 pon emas tiap tahun.[103] Di Lazika perang berlangsung inkonklusif selama beberapa tahun, dan kedua pihak tidak mampu memperoleh kesuksesan yang berarti.[104] Khosrau, yang kini harus berurusan dengan Suku Hun Putih, memperbaharui gencatan senjata pada 557 SM, kali ini tanpa meliputi Lazika; negosiasi berlangsung untuk perjanjian damai tanpa batasan yang jelas.[99][105] Pada akhirnya, pada 561 M, utusan Justinianus dan Khosrau menyepakati perdamaian selama lima puluh tahun. Persia sepakat untuk mengevakuasi Lazika sedangkan Romawi diharuskan membayar 30,000 nomismata (solidi) tiap tahun.[106] Kedua pihak juga sepakat untuk tidak membangun perbentengan baru di dekat perbatasan dan melonggarkan pembatasan dalam hal diplomasi dan perdagangan.[107]
Perang kembali pecah ketika Armenia dan Iberia memberontak terhadap pemerintahan Sassaniyah pada 571 M, menyusul bentrokan yang melibatkan proksi Romawi dan Persia di gurun Yaman dan Suriah, dan perundinagn Romawi untuk bersekutu dengan Suku Turk melawan Persia.[108] Justinus II menjadikan Armenia di bawah perlindungannya, sementara pasukan Romawi di bawah keponakan Justinus, Marcianus menggempur Arzanene dan menginvasi Mespotamia Persia, mereka mengalahkan pasukan lokal di sana.[109] Pemberhentian Marciaus yang mendadak serta kedatangan pasukan Persia di bawah Khosrau berujung pada penggempuran Suriah oleh Persia, serta gagalnya kepungan Romawi di Nisibis dan jatuhnya Dara ke tangan Persia.[110] Romawi bersedia membayar 45,000 solidi dan gencatan senjata selama satu tahun akhirnya disepakati di Mesopotamia (kemudian diperpanjang sampai lima tahun).[111][112] Akan tetapi di Kaukasus dan di perbatasan gurun lainnya peperangan terus berlanjut.[113][114] Pada 575 M, Khosrau I berupaya untuk menggabungkan agresi di Armenia dengan diskusi terkait perdamaian permanen. Dia menginvasi Anatolia dan menjarah Sebasteia, tetapi setelah bentrokan di dekat Melitene, pasukan Persia menderita kerugian yang besar ketika berusaha mundur menyeberangi Efrat di bawah serangan Romawi.[115][116]
Romawi memanfaatkan kekacauan Persia, dan jenderal Justinianus menginvasi wilayah Persia dan menyerang Atropatene.[115] Khosrau awalnya meminta berdamai, tetapi mengabaikan inisiatif ini setelah Tamkhusro meraih kemenangan di Armenia, di sana tindakan Romawi tidak mendapat dukungan dari penduduk lokal.[117][118] Pada musim semi 578 M perang di Mesopotamia berlanjut dengan serangan Persia terhadap wilayah Romawi. Jenderal Romawi Mauricius membalas dengan menyerang Mesopotamia Persia, merebut benteng Aphumon, dan menjarah Singara. Khosrau sekali lagi meminta perundingan damai namun dia keburu meninggal pada 579 M dan penerusnya Hormizd IV lebih suka melajutkan peperangan.[119][120]
Selama tahun 580-an M, perang berlanjut inkonklusif dengan kemenangan di kedua pihak. Pada 582 M, Mauricius memenangkan pertempuran di Konstantia atas Adarmahan dan Tamkhusro, yang terbunuh, tetapi jenderal Romawi itu tidak menindaklanjuti kemenangannya; dia harus cepat-cepat pergi ke Konstantinopel untuk mengejar ambisi menjadi penguasa Romawi.[120][121][122] Kemenangan Romawi lainnya dalam Pertempuran Solakhon pada 586 M juga tidak berhasil memecah kebuntuan.[123]
Persia merebut Martyropolis melalui pengkhianatan pada 589 M, tetapi tahun tersebut kebuntuan hancur ketika jenderal Persia Bahram Chobin, setelah dipecat dan dan dihina oleh Hormizd IV, bangkit memimpin pemberontakan. Hormizd digulingkan dalam sebuah kudeta di istana pada 590 M dan digantikan oleh putranya Khosrau II, tetapi Bahram tetap saja meneruskan pemberontakannya dan mengalahkan Khosrau, yang terpaksa harus menyelamatkan diri ke wilayah Romawi, sementara Bahram merebut takhta dengan gelar Bahram VI. Dengan dukungan dari Mauricius, Khosrau memimpin pemberontakan melawan Bahram, dan pada 591 M, pasukan gabungan Romawi dan Khosrau berhasil mengalahkan Bahram dan dengan demikian Khosrau dapat kembali bertakhta. Sebagai imbalan karena telah membantunya, Khosrau tidak hanya mengembalikan Dara dan Martyrooplis, tetapi dia juga menyerahkan paruh barat Iberia dan lebih dari setengah Armenia Persia kepada Romawi.[124][125][126]
Pada 602 M pasukan Romawi yang sedang melakukan kampanye militer di Balkan memberontak di bawah pimpinan Phocas, yang kemudian berhasil merebut takhta dan membunuh Mauricius beserta keluarganya. Khosrau II memanfaatkan pembunuhan itu sebagai pembenaran untuk dapat kembali menyerang Romawi.[127] Pada awal perang, Persia menikmati kesuksesan yang luar biasa dan belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka dibantu oleh siasat Khosrau yang menggunakan seseorang yang berpura-pura sebagai putra Mauricius, juga oleh pemberontakan terhadap Phocas yang dipimpin oleh seorang jenderal Romawi, Narses.[128][129] Pada 603 M Khosrau mengalahkan dan membunuh jenderal Romawi, Germanus, di Mesopotamia dan kemudian mengepung Dara. Meskipun pasukan bantuan Romawi datang dari Eropa, Khosrau kembali memperoleh kemenangan lainnya pada 604 M, sementara Dara takluk setelah dikepung selama sembilan bulan. Selama tahun-tahun berikutnya, satu demi satu kota-kota benteng di Mesopotamia takluk setelah dikepung oleh Persia.[130][131] Pada saat yang sama, Persia juga meraih kemenangan di Armenia dan secara sistematis menguasai garnisun Romawi di Kaukasus.[132]
Phocas digulingkan pada 610 M oleh Heraclius, yang berlayar ke Konstantinopel dari Karthago.[133] Pada saat yang sama Persia telah menyelesaikan penaklukan mereka di Mesopotamia dan Kaukasus, dan pada 611 M mereka menyerbu Suriah dan memasuki Anatolia, serta menduduki Caesarea.[134] Setelah mengusir Persia dari Anatolia pada 612 M, Heraclis melancarkan serangan balasan ke Suriah pada 613 M. Dia secara telak dikalahkan di dekat Antiokhia oleh Shahrbaraz dan Shahin dan dengan demikian posisi Romawi pun semakin rawan.[135] Selama beberapa dekade berikutnya, Persia berhasil menaklukkan Palestina dan Mesir,[136] serta meluluhlantakkan Anatolia.[137] Sementara itu, suku Avar dan bangsa Slav mengambil keuntungan dari situasi ini untuk menyerbu Balkan, yang pada gilirannya ikut menambah kehancuran pada Kekaisaran Romawi.[138]
Selama masa tersebut, Heraclius berusaha membangun kembali pasukan Romawi. Dia memotong pengeluaran nonmiliter yang tidak penting, mendevaluasi mata uang dan melebur lempeng gereja, dengan dukungan Patriark Sergius, untuk memperoleh dana yang dibutuhkan untuk melanjutkan peperangan.[139] Pada 622 M, Heraclius berangkat dari Konstantinopel, memercayakan kota kepada Sergius dan jenderal Bonus sebagai wali anaknya. Dia menghimpun pasukannya di Asia Kecil dan, setelah melakukan latihan untuk meningkatkan moral mereka, dia melancarkan serangan balasan, yang mengambil ciri perang suci.[140][141] Di Kaukasus dia mengalahkan pasukan Arab sekutu Persia, dan kemudian meraih kemenangan atas Persia di bawah Shahrbaraz.[142][143] Menyusul masa tenang pada 623 M, ketika Heraclius merundingkan kesepakatan damai dengan suku Avar, dia melanjutkan kampanyenya di Timur pada 624 M dan mengusir pasukan pimpinan Khosrau di Ganzak, Atropatene.[144][145] Pada 625 M, dia mengalahkan jenderal Shahrbaraz, Shahin dan Shahraplakan di Armenia, dan dalam sebuah serangan kejutan pada musim dingin pada tahun yang sama dia menggempur markas Shahrbaraz dan menyerang pasukannya dalam bilet musim dingin mereka.[146][147] Didukung oleh pasukan Persia pimpinan Shahrbaraz, suku Avar dan Slav mencoba mengepung Konstantinopel pada 626 namun gagal,[148][149] sementara pasukan Persia kedua di bawah Shahin kembali menderita kekalahan di tangan saudara Heraclius, Theodore.[150][151]
Sementara itu, Heraclius membentuk persekutuan dengan suku Turk, yang mengambil keuntungan ketika kekuatan Persia melemah. Suku Turk memorak-perandakan wilayah Persia di Kaukasus.[152] Pada akhir 627 M, Heraclius melancarkan serangan musim dingin ke Mesopotamia, di sana, meskipun kontingen Turk tidak mau ikut menyerang, Heraclius tetap dapat mengalahkan Persia dalam Pertempuran Nineweh. Dia terus bergerak ke selatan di sepanjang Tigris dan menjarah istana agung Khosrau di Dastagird. Dia sebenarnya hendak menyerang Ktesiphon juga namun gagal karena jembatan di Kanal Nahrawan dihancurkan. Karena terus mengalami kekalahan, Khosrau digulingkan dan dibunuh dalam sebuah kudeta oleh putranya sendiri Kavadh II, yang langsung saja meminta perdamaian. Supaya dapat berdamai, Kavadh bersedia menarik pasukan Persia dari semua wilayah yang sebelumnya mereka rebut.[153][154] Heraclius mengembalikan Salib Suci ke Yerusalem dengan perayaan yang megah pada 629.[155][156][157]
Dampak yang menghancurkan dari perang terakhir ini, menambah efek kumulatif dari konflik seabad yang hampir tanpa henti, membuat kedua kekaisaran menjadi sangat lemah. Ketika Kavadh II meninggal hanya beberapa bulan setelah naik takhta, Persia dilanda kekacauan dinasti dan perang saudara selama beberapa tahun. Sassaniyah menjadi makin lemah dengan adanya penurunan dalam bidang ekonomi, pajak yang berat untuk membiayai kampanye Khosrau II, kerusuhan agama, dan meningkatnya kekuasaan tuan tanah provinsi.[158] Kekaisaran Romawi juga sangat terpengaruh, dengan cadangan keuangannya terkuras oleh perang, dan Balkan kini sebagian besar dikuasai oleh bangsa Slav.[159] Selain itu, Anatolia juga porak-poranda akibat invasi berulang oleh Persia; kekuasaan Romawi di wilayah yang baru saja diperolehnya di Kaukasus, Suriah, Mesopotamia, Palestina, dan Mesir mulai goyah akibat pendudukan Persia selama bertahun-tahun.[160]
Kedua pihak tidak memiliki kesempatan untuk memulihkan diri, karena hanya beberapa tahun kemudian mereka diserbu oleh oleh orang Arab, yang telah disatukan oleh Islam. Menurut Howard-Johnston, serbuan orang Arab itu "hanya dapat disamakan dengan tsunami manusia".[161][162] Menurut George Liska, "Konflik panjang yang tidak perlu antara Bizantium dan Persia telah memberi jalan bagi Islam".[163] Kekaisaran Sassaniyah dengan cepat menyerah terhadap serangan ini dan pada akhirnya benar-benar ditaklukan oleh Kekhalifahan Islam pertama pada masa pemerintahan khalifah Umar (m. 634–644). Selama Perang Bizantium–Arab, wilayah provinsi timur dan selatan Kekaisaran Romawi, yang sudah lemah, yang baru saja diperoleh kembali oleh Romawi, yaitu Suriah, Armenia, Mesir dan Afrika Utara, pada akhirnya lepas kembali, mengurangi wilayah Romawi menjadi tinggal sebagian Anatolia serta daerah-daerah dan pulau-pulau yang terpencar-pencar di Balkan dan Italia.[164] Wilayah Romawi yang tersisa itu juga terus-menerus diserang, menandai peralihan dari peradaban perkotaan klasik ke bentuk masyarakat abad pertengahan yang lebih bersifat pedesaan. Akan tetapi, tidak seperti Persia, Kekaisaran Romawi (dalam bentuk Kekaisaran Bizantium) berhasil bertahan dari gelombang serangan Arab. Romawi bertahan di sisa-sisa wilayahnya dan dua kali secara telak berhasil memukul mundur pengepungan Arab atas ibu kotanya, yaitu pada 674–678 M dan 717–718 M.[165][166] Kekaisaran Romawi juga kehilangan wilayahnya di Kreta dan Italia selatan akibat direbut oleh Arab dalam konflik berikutnya, meskipun wilayah-wilayah tersebut berhasil diambil kembali oleh Romawi.
Tafsir Ringkas Kemenag
Ayat ini berisi prediksi Al-Qur’an terhadap kejadian yang akan datang.
Bangsa Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel pada awalnya telah dikalahkan oleh Bangsa Persia pemeluk Majusi.
Berita Bangsa Romawi Dikalahkan oleh Bangsa Persia, Negeri yang Dekat dengan Kota Mekah, Tafsir Surat Ar Rum Ayat 2 (Sumber: freepik/frimufilms)
Ayat ini menerangkan bahwa bangsa Romawi telah dikalahkan oleh bangsa Persia di negeri yang dekat dengan kota Mekah, yaitu negeri Syiria.
Beberapa tahun kemudian setelah mereka dikalahkan, maka bangsa Romawi akan mengalahkan bangsa Persia sebagai balasan atas kekalahan itu.
Bangsa Romawi yang dimaksud dalam ayat ini ialah Kerajaan Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel, bukan kerajaan Romawi Barat yang berpusat di Roma.
Kerajaan Romawi Barat, jauh sebelum peristiwa yang diceritakan dalam ayat ini terjadi, sudah hancur, yaitu pada tahun 476 Masehi.
Bangsa Romawi beragama Nasrani (Ahli Kitab), sedang bangsa Persia beragama Majusi (musyrik).
Ayat ini merupakan sebagian dari ayat-ayat yang memberitakan hal-hal gaib yang menunjukkan kemukjizatan Al-Qur’an.
Pada saat bangsa Romawi dikalahkan bangsa Persia, maka turunlah ayat ini yang menerangkan bahwa pada saat ini bangsa Romawi dikalahkan, tetapi kekalahan itu tidak akan lama dideritanya.
Hanya dalam beberapa tahun saja, orang-orang Persia pasti dikalahkan oleh orang Romawi. Kekalahan bangsa Romawi ini terjadi sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah.
Mendengar berita ini, orang-orang musyrik Mekah bergembira, sedangkan orang-orang yang beriman dan Nabi bersedih hati.
Sebagaimana diketahui bahwa bangsa Persia beragama Majusi yang menyembah api, jadi mereka menyekutukan Tuhan.
Orang-orang Mekah juga menyekutukan Tuhan dengan menyembah berhala.
Oleh karena itu, mereka merasa agama mereka dekat dengan agama bangsa Persia, karena sama-sama mempersekutukan Tuhan.
Kaum Muslimin merasa agama mereka dekat dengan agama Nasrani, karena sama-sama menganut agama Samawi.
Oleh karena itu, kaum musyrik Mekah bergembira atas kemenangan itu, sebagai kemenangan agama politeisme yang mempercayai “banyak Tuhan”, atas agama Samawi yang menganut agama tauhid.
Sebaliknya kaum Muslimin waktu itu bersedih hati karena sikap menentang kaum musyrik Mekah semakin bertambah.
Mereka mencemooh kaum Muslimin dengan mengatakan bahwa dalam waktu dekat mereka juga akan hancur, sebagaimana kehancuran bangsa Romawi yang menganut agama Nasrani.
Lalu ayat ini turun untuk menerangkan bahwa bangsa Romawi yang kalah itu, akan mengalahkan bangsa Persia dalam waktu yang tidak lama, hanya dalam beberapa tahun lagi.
Sejarah mencatat bahwa tahun 622 Masehi, yaitu setelah tujuh atau delapan tahun kekalahan bangsa Romawi dari bangsa Persia itu, peperangan antara kedua bangsa itu berkecamuk kembali untuk kedua kalinya.
Pada permulaan terjadinya peperangan itu telah tampak tanda-tanda kemenangan bangsa Romawi.
Sekalipun demikian, ketika sampai kepada kaum musyrik Mekah berita peperangan itu, mereka masih mengharapkan kemenangan berada di pihak Persia.
Oleh karena itu, Ubay bin Khalaf ketika mengetahui Abu Bakar hijrah ke Medinah, ia minta agar putra Abu Bakar, yaitu ‘Abdurraḥmān, menjamin taruhan ayahnya, jika Persia menang.
Hal ini diterima oleh ‘Abdurraḥmān.
Pada tahun 624 Masehi, terjadilah perang Uhud. Ketika Ubay bin Khalaf hendak pergi memerangi kaum Muslimin, ‘Abdurraḥmān melarangnya, kecuali jika putranya menjamin membayar taruhannya, jika bangsa Romawi menang.
Maka Abdullah bin Ubay menerima untuk menjaminnya.
Jika melihat berita di atas, maka ada beberapa kemungkinan sebagai berikut:
pertama, pada tahun 622 Masehi, perang antara Romawi dan Persia telah berakhir dengan kemenangan Romawi. Akan tetapi, karena hubungan yang sukar waktu itu, maka berita itu baru sampai ke Mekah setahun kemudian, sehingga Ubay minta jaminan waktu Abu Bakar hijrah, sebaliknya ‘Abdurraḥmān minta jaminan pada waktu Ubay akan pergi ke Perang Uhud.
Kedua, peperangan itu berlangsung dari tahun 622-624 Masehi, dan berakhir dengan kemenangan bangsa Romawi.
Dari peristiwa di atas dapat dikemukakan beberapa hal dan pelajaran yang perlu direnungkan dan diamalkan.
Pertama: Ada hubungan antara kemusyrikan dan kekafiran terhadap dakwah dan iman kepada Allah.
Sekalipun negara-negara dahulu belum mempunyai sistem komunikasi yang canggih dan bangsanya pun belum mempunyai hubungan yang kuat seperti sekarang ini, namun antar bangsa-bangsa itu telah mempunyai hubungan batin, yaitu antara bangsa-bangsa yang menganut agama yang bersumber dari Tuhan di satu pihak, dan bangsa-bangsa yang menganut agama yang tidak bersumber dari Tuhan pada pihak yang lain.
Orang-orang musyrik Mekah menganggap kemenangan bangsa Persia atas bangsa Romawi (Nasrani), sebagai kemenangan mereka juga karena sama-sama menganut politeisme.
Sedangkan kaum Muslimin merasakan kekalahan bangsa Romawi yang beragama Nasrani sebagai kekalahan mereka pula, karena merasa agama mereka berasal dari sumber yang satu.
Hal ini merupakan suatu faktor nyata yang perlu diperhatikan kaum Muslimin dalam menyusun taktik dan strategi dalam berdakwah.
Kedua: Kepercayaan yang mutlak kepada janji dan ketetapan Allah.
Hal ini tampak pada ucapan-ucapan Abu Bakar yang penuh keyakinan tanpa ragu-ragu di waktu menetapkan jumlah taruhan dengan Ubay bin Khalaf.
Harga unta seratus ekor sangat tinggi pada waktu itu, sehingga kalau tidak karena keyakinan akan kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an yang ada di dalam hati Abu Bakar, tentu beliau tidak akan berani mengadakan taruhan sebanyak itu, apalagi jika dibaca sejarah bangsa Romawi pada waktu kekalahan itu dalam keadaan kocar-kacir.
sukar diramalkan mereka sanggup mengalahkan bangsa Persia yang dalam keadaan kuat, hanya dalam tiga sampai sembilan tahun mendatang.
Keyakinan yang kuat seperti keyakinan Abu Bakar itu merupakan keyakinan kaum Muslimin, yang tidak dapat digoyahkan oleh apa pun, sekalipun dalam bentuk siksaan, ujian, penderitaan, pemboikotan, dan sebagainya.
Hal ini merupakan modal utama bagi kaum Muslimin menghadapi jihad yang memerlukan waktu yang lama di masa yang akan datang.
Jika kaum Muslimin mempunyai keyakinan dan berusaha seperti kaum Muslimin di masa Rasulullah, pasti pula Allah mendatangkan kemenangan kepada mereka.
Ketiga: Terjadinya suatu peristiwa adalah urusan Allah, tidak seorangpun yang dapat mencampurinya.
Allah-lah yang menentukan segalanya sesuai dengan hikmah dan kebijaksanaan-Nya.
Hal ini berarti bahwa kaum Muslimin harus mengembalikan segala urusan kepada Allah saja, baik dalam kejadian seperti di atas, maupun pada kejadian dan peristiwa yang merupakan keseimbangan antara situasi dan keadaan.
Kemenangan dan kekalahan, kemajuan dan kemunduran suatu bangsa, demikian pula kelemahan dan kekuatannya yang terjadi di bumi ini, semuanya kembali kepada Allah.
Dia berbuat menurut kehendak-Nya. Semua yang terjadi bertitik tolak kepada kehendak Zat yang mutlak itu.
Jadi berserah diri dan menerima semua yang telah ditentukan Allah adalah sifat yang harus dimiliki oleh seorang mukmin.
Hal ini bukanlah berarti bahwa usaha manusia tidak ada harganya sedikit pun, karena hal itu merupakan syarat berhasilnya suatu pekerjaan.
Dalam suatu hadis diriwayatkan bahwa seorang Arab Badui melepaskan untanya di muka pintu masjid Rasulullah, kemudian ia masuk ke dalamnya sambil berkata,
“Aku bertawakal kepada Allah,” lalu Nabi bersabda:
اِعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ. (رواه الترمذى عن انس بن مالك)
Ikatlah unta itu sesudah itu baru engkau bertawakal. (Riwayat at-Tirmiżī dari Anas bin Mālik )
Berdasarkan hadis ini, seorang muslim disuruh berusaha sekuat tenaga, kemudian ia berserah diri kepada Allah tentang hasil usahanya itu.
Akhir ayat ini menerangkan bahwa kaum Muslimin bergembira ketika mendengar berita kemenangan bangsa Romawi atas bangsa Persia.
Mereka bergembira karena:
1. Mereka telah dapat membuktikan kepada kaum musyrik Mekah atas kebenaran berita-berita yang ada dalam ayat Al-Qur’an.
2. Kemenangan bangsa Romawi atas bangsa Persia merupakan kemenangan agama Samawi atas agama ciptaan manusia.
3. Kemenangan bangsa Romawi atas bangsa Persia mengisyaratkan kemenangan kaum Muslimin atas orang-orang kafir Mekah dalam waktu yang tidak lama lagi.
Itulah tafsir surat Ar Rum ayat 2 yang dilansir tvOnenews.com dari Qur’an Kementerian Agama (Kemenag).
Semoga artikel ini bermanfaat.
Jakarta, tvOnenews.com - Romawi adalah salah satu bangsa yang amatlah berkuasa di masanya.
Saat Rasulullah SAW berdakwah dalam menyebarkan agama Islam, kekaisaran Romawi juga masih berkuasa.
Perang Bizantium–Sassaniyah
Perang pecah ketika raja Persia Kavadh I berusaha memperoleh dukungan keuangan secara paksa dari Kaisar Romawi Bizantium, Anastasius I.[64][65][66] Pada 502 M, dia dengan cepat menaklukkan kota Theodosiopolis yang tidak siap diserang[67][68] dan kemudian mengepung Amida. Pengepungan kota-benteng itu terbukti jauh lebih sulit daripada yang Kavadh perkirakan; pasukan bertahan berhasil menahan serangan Persia selama tiga bulan sebelum akhirnya dikalahkan.[69][70] Pada 503 M, Romawi berupaya merebut kembali Amida namun gagal. Sementara itu Kavadh menginvasi Osroene, dan kemudian mengepung Edessa yang berujung kegagalan.[71] Akhirnya pada 504 M, Romawi merebut Amida melalui investasi militer. Pada tahun tersebut, gencatan senjata tercapai sebagai akibat dari invasi Armenia oleh suku Hun dari Kaukasus. Meskipun kedua pihak bernegosiasi, baru pada bulan November 506 M perjanjian tersebut disetujui.[72][73] Pada 505 M, Anastasius memerintahkan pembangunan kota berbenteng besar di Dara. Pada saat yang sama, perbentengan yang rusak juga diperbaharui di Edessa, Batnae dan Amida.[74][75] Meskipun tidak ada lagi konflik berskala besar yang terjadi selama sisa masa pemerintahan Anastasius, tetapi ketegangan terus berlanjut, khususnya ketika pembangunan berlangsung di Dara. Ini karena pembangunan perbentengan baru di zona perbatasan oleh kedua kekaisaran sebenarnya telah dilarang melalui perjanjian yang telah disepakati beberapa dekade sebelumya. Akan tetapi Anastasius terus melanjutkan proyek ini meskipun Persia merasa keberatan. Tembok pertahanannya sendiri selesai dibangun pada 507–508 M.[73][76]
Pada 524–525 M, Kavadh mengusulkan pada Justinus I untuk mengadopsi putranya, Khosrau, tetapi perundingan mereka berakhir dengan kegagalan.[77][78][79] Ketegangan antara kedua pihak berujung kepada konflik ketika Iberia Kaukasus di bawah Gourgen membelot dan berpihak kepada Romawi pada 524–525 M.[80] Pertempuran terbuka Romawi–Persia pecah di daerah Transkaukasus dan Mesopotamia hulu pada 526–527 M.[81] Pada tahun-tahun awal dalam perang tersebut, Persia lebih unggul: pada 527 M, pemberontakan Iberia berhasil dipadamkan, serangan Romawi ke Nisibis dan Thebetha pada tahun tersebut juga berhasil dipukul mundur, selain itu pasukan Romawi yang dikerahkan untuk melindungi Thannuris dan Melabasa juga berhasil dihalau oleh Persia.[82][83] Berupaya memperbaiki kekurangan yang telah dimanfaatkan oleh Persia, kaisar Romawi yang baru, Justinianus I, mengatur ulang pasukan Romawi.[84]
Pada 530 M, sebuah serangan besar Persia di Mesopotamia dikalahkan oleh pasukan Romawi di bawah Belisarius pada Pertempuran Dara, sedangkan serangan kedua Persia ke Kaukasus dikalahkan oleh Sittas di Satala. Belisarius dikalahkan oleh pasukan Persia dan Lakhmid dalam Pertempuran Callinicum pada 531 M. Pada tahun yang sama Romawi merebut beberapa benteng di Armenia, sementara Persia menaklukkan dua benteng di Lazika timur.[85] Tidak lama setelah kegagalan di Callinicum, Romawi dan Persia berunding tanpa hasil.[86] Kedua pihak kembali berunding pada musim semi 532 M dan akhirnya menyepakati Perdamaian Abadi pada bulan September 532 M, yang hanya bertahan kurang dari delapan tahun. Kedua pihak setuju untuk mengembalkan semua wilayah yang mereka rebut, dan Romawi bersedia membayar sejumlah 110 centenaria (11,000 pon emas). Iberia tetap berada di tangan Persia, dan orang-orang Iberia yang telah meninggalkan negeri mereka diberi pilihan untuk tetap tinggal di wilayah Romawi atau kembali ke tempat asal mereka.[87][88]
Kekaisaran Romawi (Bizantium)
Wilayah yang direbut oleh Justinianus
Kekaisaran Sassaniyah
Negara vasal Sassaniyah
Kekaisaran Romawi vs. Parthia
Karena ketegangan antara kedua pihak dapat berujung pada perang lagi, maka Gaius Caesar dan Phraates berusaha melakukan perundingan pada 1 M. Berdasarkan perjanjian yang mereka sepakati, Parthia bersedia menarik pasukannya dari Armenia dan mengakui protektorat de facto Romawi di sana. Meskipun demikian, persaingan Romawi–Persia atas kendali dan pengaruh di Armenia terus berlangsung selama beberapa dekade berikutnya.[16] Keputusan raja Parthia Artabanus II untuk menempatkan putranya pada takhta Armenia yang kosong, memiu perang dengan Romawi pada 36 M, yang berakhir setelah Artabanus melepaskan pengaruh Parthia di Armenia.[17] Perang kembali meletus pada 58 M, setelah raja Parthia Vologases I memaksa menempatkan saudaranya Tiridates di takhta Armenia.[18][19] Pasukan Romawi menggulingkan Tiridates dan menggantikannya dengan seorang pangeran Kappadokia, memicu perang yang inkonklusif. Perang ini berakhir pada 63 M setelah Romawi setuju untuk membiarkan Tiridates dan keturunannyan untuk memerintah Armenia dengan syarat bahwa mereka menerima hak meraja dari kaisar Romawi.[20][21]
Serangkaian konflik baru terjadi pada abad ke-2 SM, ketika itu Romawi terus-menerus menang melawan Parthia. Kaisar Trajanus menginvasi Armenia dan Mesopotamia pada 114 dan 115 M. Dia menjadikan kedua wilayah itu sebagai provinsi Romawi. Dia juga menaklukkan ibu kota Parthia, Ktesiphon, sebelum akhirnya berlayar ke Teluk Persia.[22] Akan tetapi, pemberontakan meletus pada 115 M di tanah Parthia yang terjajah, ketika pemberontakan Yahudi yang besar terjadi di wilayah Romawi, sangat menguras sumber daya Romawi. Pasukan Parthia menyerang posisi-posisi kunci Romawi, dan garnisun Romawi di Seleukia, Nisibis dan Edessa diusir oleh penduduk lokal. Trajanus berhasil memadamkan pemberontakan di Mesopotamia, tetapi setelah menempatkan pangeran Parthia Parthamaspates di takhta Parthia sebagai penguasa klien Romawi, Trajanus pun menarik mundur pasukannya dan kembali ke Suriah. Trajanus meninggal pada 117 M, sebelum dia sempat mengatur ulang dan mengkonsolidasi kendali Romawi di provinsi-provinsi Parthia.[23][24]
Perang Parthia Trajanus menandai "pergeseran penekanan dalam 'strategi utama Kekaisaran Romawi' ", tetapi penerusnya, Hadrianus, memutuskan bahwa Romawi harus kembali menjadikan Efrat sebagai batas kekuasaan langsungnya. Hadrianus kembali pada keadaan status quo ante, dan menyerahkan wilayah Armenia, Mesopotamia, dan Adiabene, masing-masing kepada para penguasa dan raja di wilayah itu sebelumnya.[24][25]
Perang memperebutkan Armenia kembali pecah pada 161 M, ketika Vologases IV mengalahkan pasukan Romawi di sana, menaklukkan Edessa dan menggempur Suriah. Pada 163 M, serangan balik Romawi di bawah Statius Priscus mengalahkan Parthia di Armenia dan menempatkan kandidat yang didukung Romawi di takhta Armenia. Setahun kemudian Avidius Cassius menginvasi Mesopotamia, memenangkan pertempuran di Dura-Europos dan Seleukia, serta menjarah Ktesiphon pada 165 M. Sebuah epidemik di Parthia ketika itu, kemungkinan cacar, menular ke pasukan Romawi dan memaksa mereka untuk mundur;[26] Ini adalah asal mula Wabah Antoninus yang menjangkiti Kekaisaran Romawi selama satu generasi. Pada 195–197 M, Romawi melakukan serangan di bawah kaisar Septimius Severus dan berujung pada penguasaan Romawi atas Mesopotamia utara sampai sejauh daerah sekitar Nisibis, Singara. Romawi juga berhasil menaklukkan Ktesiphon untuk kedua kalinya.[27][28][29] Perang terakhir melawan Parthia dilancarkan oleh kaisar Caracalla, yang berhasil menaklukkan Arbela pada 216 M. Setelah dia dibunuh, penerusnya, Macrinus, dikalahkan oleh Parthia pada Pertempuran Nisibis. Supaya dapat memperoleh perdamaian, dia terpaksa harus membayar segala kerugian yang disebabkan oleh Caracalla kepada Parthia.[30][31]