Bukan Hanya tentang Persatuan Suku
Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya tentang perbedaan suku budaya yang harus disatukan, tetapi juga perbedaan pemikiran. Menurut Sultan Hamid, Soekarno menggambarkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai persatuan pemikiran federalis dan kesatuan di Republik Indonesia Serikat (nama Indonesia pada saat itu).
Tersimpan di Perpustakaan Leiden
Dengan eratnya kaitan antara Nusantara dan Belanda. Transkrip Sutasoma kemudian menjadi salah satu arsip yang tersimpan di Perpustakaan Leiden, dengan bait yang mengandung istilah Bhinneka Tunggal Ika tersebut berada pada lembar ke 120 lontar Sutasoma.
Bersumber dari Lontar Sutasoma
Istilah Bhinneka Tunggal Ika diambil dari Lontar Sutasoma karya Mpu Tantular seorang pujangga yang hidup pada abad ke-14 di Majapahit dan masih kerabat kerajaan pada masa pemerintahan Raja Rajasanegara. Istilah Bhinneka Tunggal ika sendiri diambil dari salah satu penggalan kakimpoi alias Syair Sutasoma. Berikut bunyinya dalam Bahasa Sansekerta, dan diterjemahkan ke Bahasa Indonesia:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Artinya: Buddha dan Siwa sebagai dua zat yang berbeda namun bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa yang tunggal Berpecah belah lah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Indonesian national motto
Bhinneka Tunggal Ika is the official national motto of Indonesia. It is inscribed in the national emblem of Indonesia, the Garuda Pancasila, written on the scroll gripped by the Garuda's claws. The phrase comes from Old Javanese, meaning "Unity in Diversity," and is enshrined in article 36A of the Constitution of Indonesia. The motto refers to the unity and integrity of Indonesia, a nation consisting of various cultures, regional languages, races, ethnicities, religions, and beliefs.
The phrase is a quotation from an Old Javanese poem Kakawin Sutasoma, written by Mpu Tantular, a famous poet of Javanese literature during the reign of the Majapahit empire in the 14th century, under the reign of King Rājasanagara (also known as Hayam Wuruk).
Translated word for word, bhinnêka is a sandhi form of bhinna meaning "different"; the word tunggal means "one" and the word ika means "it". Literally, Bhinneka Tunggal Ika is translated as "It is different, [yet] it is one". Conventionally, the phrase is translated as "Unity in Diversity",[1] which means that despite being diverse, the Indonesian people are still one unit. This motto is used to describe the unity and integrity of Indonesia which consists of various cultures, regional languages, races, ethnicities, religions, and beliefs. As head of the Faculty of Philosophy of Gadjah Mada University, Rizal Mustansyir, writes, "the motto of Bhinneka Tunggal Ika explains clearly that there is diversity in various aspects of life that makes the Indonesian nation a unified nation."[2]
The phrase originated from the Old Javanese poem Kakawin Sutasoma, written by Mpu Tantular a famous poet of Javanese Literature during the reign of the Majapahit empire sometime in the 14th century, under the reign of King Rājasanagara, also known as Hayam Wuruk.[3] The Kakawin contains epic poems written in metres. The poem is notable as it promotes tolerance between Hindus (especially Shivaites) and Buddhists.[4]
The phrase Bhinneka Tunggal Ika was published in an article entitled Verspreide Geschriften which was written by a Dutch linguist orientalist Johan Hendrik Casper Kern. Kern's writings were later read by Mohammad Yamin, who then brought the phrase to the first Investigating Committee for Preparatory Work for Independence (BPUPK) session, between 29 May to 1 June 1945.[5]
The motto Bhinneka Tunggal Ika was later incorporated into the state emblem, the Garuda Pancasila. Reporting from the Directorate General of Culture of the Republic of Indonesia, the state symbol was designed by Sultan Hamid II and announced to the public on 15 February 1950.[6]
The phrase, along with Pancasila as national emblem and 20 other articles, is officially included into the Constitution of Indonesia after the second amendment of the constitution was ratified on People's Consultative Assembly (MPR) parliamentary session in 7–18 August 2000.[7][8]
This quotation comes from canto 139, stanza 5. The full stanza reads as follows:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
It is said that the well-known Buddha and Shiva are two different substances. They are indeed different, yet how is it possible to recognise their difference in a glance, since the truth of Jina (Buddha) and the truth of Shiva is one. They are indeed different, but they are of the same kind, as there is no duality in Truth.
This translation is based, with minor adaptations, on the critical text edition by Soewito Santoso.[1]
This idea is a constant theme throughout Mpu Tantular's writings and can also be found in his other writing, the Kakawin Arjunawijaya, canto 27 stanza 2:[9][10]
ndan kantênanya, haji, tan hana bheda saṅ hyaṅ hyaṅ Buddha rakwa kalawan Śiwarājadewa kālih samêka sira saṅ pinakeṣṭi dharma riṅ dharma sīma tuwi yan lêpas adwitīya
Clearly then, Your Majesty, there is no distinction between the Deities: the hyaṅ Buddha and Siwa, the lord of gods, both are the same, they are the goals of the religions; in the dharma sīma as well as in the dharma lêpas they are second to none.
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan bangsa Indonesia yang tertulis pada lambang negara Indonesia yaitu Garuda Pancasila. Semboyan negara ini menggambarkan kondisi Indonesia yang mempunyai banyak keragaman suku, budaya, adat dan agama namun tetap menjadi satu bangsa utuh.[1] Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya adalah “Walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua”.[2]
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan demikian sangat wajar apabila mempunyai banyak suku, agama, ras, dan antar golongan. Keragaman tersebut hidup saling menghormati dan menghargai dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika.[3]
Kata bhinnêka berasal dari dua kata yang mengalami sandi, yaitu bhinna 'terpisah, berbeda' dan ika 'itu'. Kata tunggal berarti 'satu'. Secara harfiah, Bhinneka Tunggal Ika secara eksplisit dapat diartikan "Berbeda itu tetap satu", yang bermakna meskipun dalam aneka keberanekaragaman — pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap merupakan satu kesatuan utuh nan kokoh. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam adat, istiadat dan budaya, serta bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan serta kepercayaan.
Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuno yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular sekitar abad ke-14, di bawah pemerintahan Raja Rājasanagara, yang juga dikenal sebagai Hayam Wuruk Maharaja ke-4 Majapahit yang memerintah tahun 1350–1389, Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha.[4]
Tujuan dari Bhinneka Tunggal Ika adalah untuk mengembangkan motivasi dan menghargai keragaman. Tanpa wawasan tersebut, akan sulit untuk memajukan kedaulatan dan kemerdekaan nasional Indonesia.
Cita-cita tersebut menjadi landasan nasionalisme masyarakat Indonesia. Tujuan dari kebangkitan nasionalis yang dipimpin Bhinneka Tunggal Ika adalah untuk menanamkan loyalitas dan dedikasi pada masyarakat dan bangsa.[1]
Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Terjemahan ini didasarkan, dengan adaptasi kecil, pada edisi teks kritis oleh Dr. Soewito Santoso.[5]
Tarian dengan peserta berpakaian adat suku-suku di Indonesia.
Arak-arakan dengan tulisan "Bhinneka Tunggal Ika" menampilkan anak-anak dengan baju adat berbagai suku di Indonesia.
Penyanyi-penyanyi mengenakan pakaian adat di Indonesia
Anak-anak berpakaian adat daerah, umumnya digunakan untuk mengekspresikan keanekaragaman Indonesia.
Karnaval baju daerah untuk menunjukkan keberagaman budaya.
Unity in Diversity, the official national motto of Indonesia
Sejarah Bhinneka Tunggal Ika – Bangsa Indonesia dan Keragamannya baik dari segi agama, warna kulit, suku bangsa, bahasa, yang kemudian menjadikannya sebagai bangsa majemuk dan berdaulat. Hal ini dapat dilihat dari menuju detik-detik kemerdekaan hampir seluruh anak bangsa yang tergabung dari berbagai suku turut memperjuangkan kemerdekaan.
Para tokoh bangsa sendiri kemudian menyadari tantangan yang harus mereka hadapi karena kemajemukan tersebut. Keberagaman ini kemudian menjadi realitas yang tak dapat dihindari adanya. KeBhinnekaan sebagai sebuah hakikat realitas yang sudah ada dalam bangsa, sedangkan ke-Tunggal-Ika-an merupakan cita-cita kebangsaan.
Semboyan inilah yang kemudian menjadi jembatan penghubung menuju terbentuknya Negara berdaulat. Simak penjelasan lebih lengkapnya mengenai Bhinneka Tunggal Ika Berikut ini:
Prinsip Pluralistik dan Multikultural
Bhinneka Tunggal Ika mengandung nilai antara lain: toleransi, inklusif, damai dan kebersamaan, serta setara. Nilai-nilai tersebut tidak menghendaki sifat yang tertutup atau eksklusif sehingga memungkinkan untuk mengakomodasi keanekaragaman budaya bangsa dan menghadapi arus globalisasi.
Saling menghormati antar agama, suku bangsa, menghargai hasil karya orang lain, bergotong royong membangun bangsa tanpa memandang perbedaan suku, budaya dan agama, tidak saling membedakan bahkan mencaci karena hal ini dapat menimbulkan konflik serta menjadi sumber awal pemecah persatuan dan kesatuan bangsa.
Musyawarah untuk Mufakat
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya dengan adanya semboyan Bhinneka Tunggal Ika, maka jika terdapat perbedaan yang ada pada antar kelompok maupun pribadi wajib dicari solusinya secara bersama-sama dengan musyawarah.
Seperti halnya dengan prinsip common denominator atau yang dikenal dengan mencari inti kesamaan. Hal ini kemudian juga sebaiknya diterapkan dalam melakukan musyawarah untuk mufakat. Dengan adanya beragam gagasan yang semuanya kemudian dirangkum menjadi satu kesepakatan. Dengan begitu kesepakatan disini bertujuan untuk mencapai mufakat pada pribadi maupun kelompok.
Masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah masyarakat adat yang secara sosiologis memiliki ikatan dalam kelompok (suku atau etnik) yang sangat kuat. Meski demikian dalam konteks ke-Indonesian, ikatan yang berupa sentimen- sentimen suku (daerah asal) atau agama ternyata dapat direduksi demi terbangunnya rasa kebangsaan.
Arus globalisasi yang kian deras telah membawa serta nilai-nilai baru yang tidak sepenuhnya dapat diakomodasi atau dipahami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Nilai-nilai baru cenderung melonggarkan ikatan kebangsaan, dan mengkhawatirkan bagi masa depan persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan wilayah nasional Indonesia.
Karenanya sangat dibutuhkan upaya menyegarkan kembali pemahaman akan nilai-nilai kebangsaan yang merupakan ciri kepribadian masyarakat Indonesia.
Pemantapan nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam sesanti Bhinneka Tunggal Ika, sebagai ajaran moral tentang sikap toleran, adil dan bergotong royong merupakan strategi yang tepat untuk mengatasi nilai-nilai baru yang cenderung bergesekan.
Contoh perilaku yang mencerminkan “Bhinneka Tunggal Ika” :
Demikian informasi seputar Bhinneka Tunggal Ika, Semoga Bermanfaat!
Baca juga artikel terkait dengan “Arti & Makna Bhineka Tunggal Ika” :
Jika Anda ingin menggali lebih tentang Pancasila secara lebih komprehensif, miliki segera buku di www.gramedia.com.
1. Pendidikan Pancasila
2. Falsafah Pancasila Epistemologi Keislaman Kebangsaan
3. Pancasila Rumah Bersama
Sejarah Bhinneka Tunggal Ika – Bangsa Indonesia dan Keragamannya baik dari segi agama, warna kulit, suku bangsa, bahasa, yang kemudian menjadikannya sebagai bangsa majemuk dan berdaulat. Hal ini dapat dilihat dari menuju detik-detik kemerdekaan hampir seluruh anak bangsa yang tergabung dari berbagai suku turut memperjuangkan kemerdekaan.
Para tokoh bangsa sendiri kemudian menyadari tantangan yang harus mereka hadapi karena kemajemukan tersebut. Keberagaman ini kemudian menjadi realitas yang tak dapat dihindari adanya. KeBhinnekaan sebagai sebuah hakikat realitas yang sudah ada dalam bangsa, sedangkan ke-Tunggal-Ika-an merupakan cita-cita kebangsaan.
Semboyan inilah yang kemudian menjadi jembatan penghubung menuju terbentuknya Negara berdaulat. Simak penjelasan lebih lengkapnya mengenai Bhinneka Tunggal Ika Berikut ini:
A. Arti dan Makna Bhinneka Tunggal Ika
Secara harfiah Kata Bhinneka Tunggal Ika berasal dari bahasa Jawa Kuno. Bhinneka Tunggal Ika memiliki arti berbeda-beda tetap satu jua. Bhinneka Tunggal Ika menjadi semboyan bangsa Indonesia dan tertulis di dalam lambang Garuda Pancasila.
Konsep Bhinneka Tunggal Ika sendiri diambil dari kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, yang hidup pada masa Kerajaan majapahit di sekitar abad ke-14 M.
Secara etimologi kata-kata Bhinneka Tunggal Ika berasal dari bahasa Jawa Kuno yang jika dipisah menjadi Bhinneka memiliki makna ragam atau beraneka, Tunggal adalah satu, dan Ika adalah itu.
Sehingga arti Bhinneka Tunggal Ika adalah berbeda-beda tetap satu jua. Maknanya, dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia mengakui realitas bangsa yang majemuk (suku, bahasa, agama, ras, golongan dll) namun tetap menjunjung tinggi persatuan.
I Nyoman Pursika (2009) dalam jurnal Kajian Analitik Terhadap Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” menyatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika merupakan cerminan keseimbangan antara cerminan keseimbangan antara unsur perbedaan yang menjadi ciri keanekaan dengan unsur kesamaan yang menjadi ciri kesatuan.
Bhinneka Tunggal Ika merumuskan dengan tegas adanya harmoni antara kebhinnekaan dan ketunggalikaan, antara keanekaan dan keekaan, antara kepelbagaian dan kesatuan, antara hal banyak dan hal satu, atau antara pluralisme dan monisme.
Jika pada mulanya Bhinneka Tunggal Ika dipakai untuk menyatakan semangat toleransi keagaaman antara agama Hindu dan Budha. Setelah dijadikan semboyan bangsa Indonesia, konteks “Bhinneka” atau perbedaannya menjadi lebih luas, tidak hanya berbeda agama saja tapi juga suku, bahasa, ras, golongan, budaya, adat istiadat bahkan bisa ditarik kedalam perbedaan dalam lingkup yang lebih kecil seperti perbedaan pendapat, pikiran/ide, kesukaan, hobi.
Bhineka Tunggal Ika sebagai salah satu dari empat pilar kebangsaan, selain Pancasila. UUD 1945, NKRI merupakan sebuah nilai yang harus ditanam dalam setiap warga negara Indonesia yang dibahas pada buku Pancasila.
Jadi, semisal beda dukungan klub sepak bola jangan bertengkar ya?
Common Denominator
Terdapat 5 agama di Indonesia, namun sesuai dengan prinsip pertama Bhinneka Tunggal Ika perbedaan dalam hal keagamaan haruslah dicari common denominatornya, atau dengan kata lain menemukan persamaan dalam perbedaan sehingga semua rakyat Indonesia dapat hidup rukun berdampingan.
Demikian juga dengan berbagai aspek lain dengan segala perbedaannya di Indonesia, seperti adat dan kebudayaan di setiap daerah. Semua keberagaman adat dan budaya tersebut tetap diakui keabsahannya dengan segala perbedaan yang ada tetap Bersatu dalam Negara kesatuan republik Indonesia.
Musyawarah untuk Mufakat
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya dengan adanya semboyan Bhinneka Tunggal Ika, maka jika terdapat perbedaan yang ada pada antar kelompok maupun pribadi wajib dicari solusinya secara bersama-sama dengan musyawarah.
Seperti halnya dengan prinsip common denominator atau yang dikenal dengan mencari inti kesamaan. Hal ini kemudian juga sebaiknya diterapkan dalam melakukan musyawarah untuk mufakat. Dengan adanya beragam gagasan yang semuanya kemudian dirangkum menjadi satu kesepakatan. Dengan begitu kesepakatan disini bertujuan untuk mencapai mufakat pada pribadi maupun kelompok.
Masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah masyarakat adat yang secara sosiologis memiliki ikatan dalam kelompok (suku atau etnik) yang sangat kuat. Meski demikian dalam konteks ke-Indonesian, ikatan yang berupa sentimen- sentimen suku (daerah asal) atau agama ternyata dapat direduksi demi terbangunnya rasa kebangsaan.
Arus globalisasi yang kian deras telah membawa serta nilai-nilai baru yang tidak sepenuhnya dapat diakomodasi atau dipahami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Nilai-nilai baru cenderung melonggarkan ikatan kebangsaan, dan mengkhawatirkan bagi masa depan persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan wilayah nasional Indonesia.
Karenanya sangat dibutuhkan upaya menyegarkan kembali pemahaman akan nilai-nilai kebangsaan yang merupakan ciri kepribadian masyarakat Indonesia.
Pemantapan nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam sesanti Bhinneka Tunggal Ika, sebagai ajaran moral tentang sikap toleran, adil dan bergotong royong merupakan strategi yang tepat untuk mengatasi nilai-nilai baru yang cenderung bergesekan.
Contoh perilaku yang mencerminkan “Bhinneka Tunggal Ika” :
Demikian informasi seputar Bhinneka Tunggal Ika, Semoga Bermanfaat!
Baca juga artikel terkait dengan “Arti & Makna Bhineka Tunggal Ika” :
Jika Anda ingin menggali lebih tentang Pancasila secara lebih komprehensif, miliki segera buku di www.gramedia.com.
1. Pendidikan Pancasila
2. Falsafah Pancasila Epistemologi Keislaman Kebangsaan
3. Pancasila Rumah Bersama
From Simple English Wikipedia, the free encyclopedia
Bhinneka Tunggal Ika (English: "It is different, [yet] it is one") is Indonesia's official national motto. It's written on the emblem of Indonesia, called the Garuda Pancasila. The phrase means "Unity in Diversity" in Old Javanese. This motto is also in Indonesia's Constitution, in article 36A. It talks about Indonesia being united and whole even though it has many cultures, languages, ethnicities, religions, and beliefs.[1]
The words come from an Old Javanese poem called Kakawin Sutasoma, written by Mpu Tantular, a famous poet in Javanese Literature during the time of the Majapahit empire in the 14th century. King Rājasanagara, also known as Hayam Wuruk, was ruling then.[2]
Sejarah Bhinneka Tunggal Ika – Bangsa Indonesia dan Keragamannya baik dari segi agama, warna kulit, suku bangsa, bahasa, yang kemudian menjadikannya sebagai bangsa majemuk dan berdaulat. Hal ini dapat dilihat dari menuju detik-detik kemerdekaan hampir seluruh anak bangsa yang tergabung dari berbagai suku turut memperjuangkan kemerdekaan.
Para tokoh bangsa sendiri kemudian menyadari tantangan yang harus mereka hadapi karena kemajemukan tersebut. Keberagaman ini kemudian menjadi realitas yang tak dapat dihindari adanya. KeBhinnekaan sebagai sebuah hakikat realitas yang sudah ada dalam bangsa, sedangkan ke-Tunggal-Ika-an merupakan cita-cita kebangsaan.
Semboyan inilah yang kemudian menjadi jembatan penghubung menuju terbentuknya Negara berdaulat. Simak penjelasan lebih lengkapnya mengenai Bhinneka Tunggal Ika Berikut ini:
C. Prinsip Bhinneka Tunggal Ika
Pada dasarnya semboyan Bhinneka Tunggal Ika sangat penting sebab melambangkan toleransi dan kesatuan.
Mengapa toleransi? Karena toleransi dapat mencairkan perbedaan sehingga tidak ada lagi perpecahan atau konflik. Karenanya keBhinnekaan harus dimaknai masyarakat melalui pemahaman multikulturalisme yang berlandaskan kepada kekuatan spiritualitas. Perbedaan etnis, religi maupun ideologi.
Berikut ini prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang perlu kamu ketahui: